BALI, GLOBALONE.ID – Pungutan wisatawan asing (tourism levy) telah diberlakukan sejak tanggal 14 Februari 2024 yang lalu dengan besar pungutan sebesar Rp150.000 (ekuivalen 10USD) untuk memasuki Bali atau pulau-pulau yang mengelilinginya, seperti Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan. Biaya tersebut dibayarkan melalui situs daring Love Bali, aplikasi, atau langsung di pintu-pintu masuk Bali yakni bandar udara atau pelabuhan laut yang ada di Bali.
Tim Globalone kemudian bertemu dengan Ketut Ardana, salah seorang tokoh pariwisata Bali dan juga inisiator event berskala international Bali and Beyond Travel Fair (BBTF) di Cafe Koja, sebuah cafe yang terletak di Kawasan Renon Denpasar yang merupakan cafe miliknya dan kini dikelola oleh anak – anaknya.
Pertemuan yang dikemas dalam bincang santai ini berlangsung pada Rabu (10/4) sambil menikmati suasana cafe yang asri di malam hari. Selain fokus berbicara tentang tourism levy, Ketut Ardana juga berencana akan melaunching sebuah buku tentang kiprahnya di dunia pariwisata dalam waktu dekat.
Nah, berikut wartawan Globaone.id, Sandra Gisela menulisnya untuk Anda.
Pembayaran tourism levy melalui situs Love Bali atau aplikasi dilakukan sebelum keberangkatan ke Pulau Dewata. Setelah pembayaran dilakukan, wisatawan akan menerima voucher retribusi pariwisata melalui email dan mereka harus menyimpan voucher tersebut di ponsel mereka untuk dipindai saat mereka tiba di pintu-pintu masuk Pulau Bali. Opsi pembayaran di pintu masuk (on the spot) dilakukan apabila terdapat kendala dalam pembayaran melalui situs. Ada sekitar 5 loket pembayaran yang ditunjuk di bagian Kedatangan Internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai. Metode pembayaran yang digunakan pun seluruhnya cashless dan bervariasi, seperti kartu (VISA, MasterCard, JCB, AMEX, atau BCA), BPD Bali Channel, Bank Transfer, hingga QRIS.
Pihak Provinsi Bali mengatakan bahwa tourism levy digunakan untuk meningkatkan layanan wisata, melestarikan budaya Bali, dan melindungi lingkungan. Hal ini disebabkan karena Bali merupakan salah satu destinasi yang sering mengalami overtourism dan masalah polusi lingkungan, seperti garis pantai atau jalur pegunungan yang tertutup plastik. Selain itu, selama beberapa tahun terakhir, kerap terdapat ketegangan antara wisatawan asing dan penduduk lokal, misalnya tidak menghormati situs keagamaan, mengemudi dalam keadaan mabuk, dan pelanggaran lainnya.
Untuk tahun pertama dari operasi tourism levy, diperkirakan akan mengumpulkan Rp250 miliar yang akan dialokasikan untuk program pelestarian budaya dan pengelolaan sampah kritis di tahun 2025. Tujuannya diarahkan agar Bali bisa menjadi destinasi wisata yang berkelanjutan dan asri dalam hal lingkungan.
Pada bulan April ini, penerapan tourism levy di Provinsi Bali sudah berjalan selama dua bulan. Meskipun landasan dan niat dari tourism levy dapat dikatakan baik, terdapat kekurangan yang dapat dibenahi agar para wisatawan asing dapat berwisata dengan nyaman.Meski sudah diterapkan bukan berarti dalam implementasinya tanpa kendala. Soal sistem pembayaran dan kurangnya gate masih membutuhkan perhatian.
Menurut I Ketut Ardana, owner dari Bali Sunshine Tours, masalah yang muncul meliputi permasalahan aplikasi, seperti voucher atau bukti pembayaran yang belum keluar selama beberapa hari.
“Tourism levy itu tujuannya bagus, yaitu untuk melestarikan alam dan budaya. Namun, tourist levy ini sekarang ada masalah dalam praktiknya. Tourism levy diharapkan bisa dibayarkan melalui situs Love Bali dan bisa langsung mendapatkan voucernya. Permasalahannya adalah voucher atau buktinya kadang gak keluar atau belum keluar, meskipun sudah dibayarkan,” jelas Ketut Ardana.
Sebelum diluncurkan, aplikasi Love Bali sudah melalui tahap uji coba, tetapi masih terdapat ketidakstabilan setelah berjalan 2 bulan.
“Pada awal setelah tahap uji coba, aplikasinya sudah berjalan dengan bagus. Namun, terkadang sistemnya tidak stabil. Terkadang bagus, terkadang tidak. Hal ini yang harus ditangani oleh pemerintah karena terjadinya tidak hanya ke satu atau dua perusahaan saja, tetapi sejumlah perusahaan. Walaupun pada akhirnya kita bisa membayar on the spot, tetap harus antre dan jadi lama,” terang Ketut Ardana.
Ketut Ardana menyampaikan solusi yang bisa pemerintah tempuh untuk memperbaiki proses pembayaran dan penerapan tourism levy ini. Pertama, perbaikan sistem Love Bali sehingga menjadi lebih stabil. Kedua, penambahan personel yang fasih berbagai bahasa di pintu-pintu masuk wisatawan asing, seperti bandara dan pelabuhan laut, sehingga tidak timbul antrean atau kendala.
Beliau turut menambahkan bahwa tourism levy yang terkumpul sudah bisa dialokasikan untuk perbaikan dan solusi sistem pembayaran. Selain itu, dana yang ada juga bisa digunakan untuk melestarikan alam dan pengelolaan sampah.
“Tourism levy yang sudah dikumpulkan sebenarnya sudah bisa digunakan untuk perbaikan dan untuk alam. Namun, masih ada wisatawan asing yang menyampaikan keluhan tentang banyaknya sampah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, pemerintah harus bisa menunjukkan alokasi konkret dari dana tourism levy. Wisatawan ingin melihat buktinya,” ucap Ketut Ardana.
Di sisi lain, penggunaan dana tourism levy untuk menunjang kebudayaan masih belum terlalu spesifik menjangkau masing-masing kabupaten. Menurut Ketut Ardana, masing-masing kabupaten yang ada di Bali memiliki kekahasan tersendiri, serta cara untuk melestarikan budaya tersebut juga perlu treatment secara khusus. Hal ini dikatakan dapat meningkatkan daya tarik dari budaya yang ada di berbagai kabupaten dan menyejahterakan seniman lokal.
“Selain itu juga termasuk pelestarian budaya di masing-masing kabupaten. Saya lihat masih terlalu general, belum ada yang spesifik. Masing-masing kabupaten punya budaya yang khas dan berbeda, misalnya Karangasem dengan budaya megibung. Pemerintah bisa membuat budaya tersebut menjadi lebih sehat. Dana juga bisa digunakan untuk mengapresiasi seniman-seniman yang sudah susah payah berkarier,” jelas Ketut Ardana.
Daya tarik pariwisata Bali terletak di alam dan cara hidup masyarakat Bali, sehingga realisasi dari tourism levy harus terlihat nyata demi mendongkrak pertumbuhan wisatawan. Selain itu, penggunaan dana tourism levy juga digunakan sebagai upaya pertanggungjawaban terhadap pembayaran pihak wisatawan asing yang memasuki Provinsi Bali.***