DENPASAR, GLOBALONE.ID – Sejumlah organisasi pers yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bali (AMB) menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Draf ini diterbitkan oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI tertanggal 27 Maret 2024. Namun, dibandingkan merevisi, draf revisi UU Penyiaran tersebut malah dinilai kontroversial karena memuat pasal-pasal yang diduga menghilangkan kebebasan pers dan membatasi peredaran informasi publik.
Aksi massa ini dimulai dengan long march dari Kantor Gubernur Bali dan dipusatkan di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali pada Selasa, 28 Mei 2024. Beragam simbolisme diinisiasi selama prosesi long march, seperti jalan mundur dan jalan jongkok yang menyimbolkan kemunduran demokrasi dan DPR RI.
“Kami memandang bahwa draf revisi UU Penyiaran memuat pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers, demokrasi, dan hak asasi manusia, sehingga membawa Indonesia ke masa kegelapan,” ungkap Koordinator Lapangan (Korlap) Aksi, Ambros Boli Berani.
Setelah masuk ke dalam kompleks gedung DPRD Provinsi Bali, satu per satu perwakilan dari organisasi media mulai melakukan orasi secara bergilir. Adapun organisasi-organisasi yang ikut serta dalam aksi unjuk rasa adalah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (ITJI) Bali, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Bali, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Bali, Frontier Bali, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bali, serta pihak-pihak lainnya.
“Pers harus dibebaskan dari segala belenggu. Standardisasi siaran bagus bagi mereka, tapi tidak bagi kita. Bagi kita, investigasi adalah hak kita untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah,” ucap I Wayan Dira Arsana selaku perwakilan dari PWI Bali pada orasinya. Selain itu, Dira juga menegaskan bahwa revisi tersebut juga akan berdampak bagi masyarakat dalam mengakses informasi yang bebas, berkualitas, dan valid.
Lebih lanjut, perwakilan-perwakilan media lainnya turut berorasi dan menyebutkan keresahan mereka terhadap draf revisi UU Penyiaran. Perwakilan AJI Denpasar, Yoyo Raharjo, bahkan menegaskan bahwa terdapat beberapa pasal yang berpotensi menjadi pasal karet seperti pada UU ITE. Misalnya, pada pasal perihal pencemaran nama baik dan berita bohong.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa lembaga penyiaran (KPI) dan pers mempunyai fungsi yang overlapping. Revisi UU Penyiaran memberikan kewenangan lebih besar kepada KPI, padahal UU Pers sudah memberikan kewenangan terhadap Dewan Pers untuk melakukan proses mediasi apabila ada sengketa.
“Ada perbedaan mendasar antara Dewan Pers dan KPI. Jika kawan-kawan lihat, dalam UU Pers tidak ada aturan teknis terkait pemilihan Dewan Pers. Semangatnya adalah semangat reformasi, semangat kebebasan pers. Anggota Dewan Pers adalah pilihan dari pers itu sendiri. Sementara itu, orang-orang KPI dipilih oleh DPR RI dan DPRD untuk KPID,” jelasnya.
Poin-Poin Pernyataan Sikap
Aliansi Masyarakat Bali membawa beberapa poin pernyataan sikap pada aksi unjuk rasa tertanggal 28 Mei 2024. Pernyataan sikap tersebut berasal dari kajian kritis yang dilakukan AMB terhadap draf UU Penyiaran. Berikut pernyataan sikap yang AMB telah terbitkan.
Pertama, Bab IIIB mulai dari Pasal 34A sampai Pasal 36B yang membahas mengenai platform digital penyiaran dinilai dapat mengekang kebebasan berekspresi warga negara dan menghilangkan lapangan kerja kreatif atau content creator. Hal tersebut disebabkan karena penyelenggara platform digital wajib melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).
Kedua, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 dinilai memberikan kewenangan berlebih kepada KPI, serta menyebabkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalis dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran produk jurnalistik, lalu mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS.
Ketiga, penghapusan Pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dianggap dapat mempermulus penguasaan TV dan radio oleh kalangan tertentu dan melanggengkan monopoli kepemilikan lembaga penyiaran. Sebelum dihapus, kedua pasal tersebut membatasi pemusatan kepemilikan TV beserta radio dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta.
Keempat, Pasal 50B ayat (2) dinilai mengancam kebebasan pers karena memuat SIS. Beberapa poinnya adalah pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku homoseksual, biseksual, dan transjender (LGBT), serta larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. AMB menilai SIS dapat mempersempit ruang berekspresi dan menunjukkan keengganan pemerintah dalam menerapkan check and balances di ranah penyelenggaraan negara.
Diketahui pula, Sekretaris Dewan DPRD Provinsi Bali Gede Indra telah menerima dan meneruskan tuntutan yang AMB sampaikan ke Sekjen DPR RI melalui surel. Selanjutnya, draf revisi UU Penyiaran yang dirancang oleh DPR RI masih akan terus dibahas dalam waktu dekat sebelum diserahkan pada sidang paripurna di Gedung Parlemen.***
Penulis – Sandra Gisela