Cerita di Balik Bom Bali: Krisis Pertama yang Menempa Karier Fransiska Handoko

PERJALANAN karier Fransiska Handoko di industri perhotelan adalah kisah tentang dedikasi, ketekunan, sekaligus ketangguhan menghadapi krisis. Ia mengawali langkahnya dari bawah, belajar memahami operasional hotel secara menyeluruh, sebelum akhirnya dipercaya mengisi posisi strategis di sejumlah hotel ternama di Bali.

Setelah menyelesaikan pendidikan perhotelan internasional, Fransiska memulai karier profesionalnya di Sol Elite Paradiso -sekarang Kuta Paradiso Hotel. Saat hotel itu baru beroperasi, ia sempat menjabat sebagai guest relation officer hingga duty manager. Pengalaman ini memberinya pondasi kuat dalam memahami seluk-beluk pelayanan tamu.

Kariernya berlanjut ke Grand Hyatt Bali sebagai Sales Manager sekaligus Public Relations Executive. Dari sana, ia menambah pengalaman di Novotel Benoa dan Mercure Kuta, hingga akhirnya pada tahun 2002 dipercaya sebagai Director of Sales & Marketing Ramada Bintang Bali Resort.

BACA JUGA: Tiga Pilar Karier: Pendidikan, Sertifikasi, dan Dedikasi

Namun, tahun yang sama menjadi titik balik besar dalam hidupnya. Bom Bali I meledak di kawasan Legian pada Oktober 2002, menghantam langsung industri pariwisata Bali. Tingkat hunian hotel yang semula rata-rata 80 persen anjlok drastis hingga tinggal satu digit. Bagi Fransiska, ini adalah krisis pertama yang ia alami secara langsung di dunia perhotelan.

“Saya masih ingat, malam itu kami harus segera menghitung tamu in-house, memastikan siapa saja yang selamat, dan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Australia. Tugas utama kami adalah memberi kepastian, menenangkan tamu, dan membantu evakuasi korban,” kenang Fransiska.

Meski situasi penuh kepanikan, ia bersama tim hotel bergerak cepat. Komunikasi dengan tamu dijaga, kerja sama dengan pihak keamanan diperkuat, dan dukungan terhadap korban menjadi prioritas. Krisis itu mengajarinya bahwa perhotelan bukan sekadar bisnis penginapan, melainkan juga tentang tanggung jawab kemanusiaan.

Enam bulan kemudian, kondisi mulai berangsur pulih. Pelaku bom berhasil ditangkap, dan pemerintah bersama pelaku pariwisata gencar melakukan promosi. Hotel-hotel meluncurkan paket menarik, komunitas pariwisata bersatu sebagai bentuk “ngayah” untuk membangkitkan kembali kepercayaan wisatawan. Bali pun kembali berdiri dengan semangat kebersamaan.

Namun ujian belum berakhir. Ketika pariwisata mulai stabil, Bom Bali II kembali mengguncang pada 2005. Bagi Fransiska, pengalaman itu mempertebal keyakinan bahwa industri ini sangat rentan, namun sekaligus memiliki daya pulih luar biasa karena solidaritas masyarakat dan kekuatan spiritual Bali.

Dari serangkaian pengalaman pahit itulah, Fransiska ditempa menjadi pemimpin tangguh. Ia belajar bahwa krisis bisa datang kapan saja, dan kunci bertahan adalah komunikasi, solidaritas, serta inovasi untuk mengembalikan kepercayaan wisatawan.

Dua tragedi itu juga meninggalkan jejak mendalam pada pariwisata Bali. Di satu sisi, ia mengajarkan rapuhnya industri yang sangat bergantung pada rasa aman. Namun di sisi lain, ia juga membuktikan ketangguhan masyarakat Bali. Dari trauma kolektif lahirlah solidaritas dan semangat persatuan, menjadikan pariwisata Bali kembali bangkit, bahkan lebih kuat menghadapi tantangan-tantangan berikutnya. **

Penulis: Karolina, Editor: Igo Kleden

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *