DENPASAR, GLOBALONE.ID – Polemik kenaikan pajak spa sebesar 40 – 75 persen dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) masih terus menuai polemik bahklan dinilai akan berdampak
buruk bagi perkembangan dunia usaha, khususnya industri SPA.
Oleh karena itu, pelaku usaha yang tergabung di dalam Welness and Healthcare Enterpreneur Association (WHEA), Indonesia Welness Master Association (IWMA) dan Indonesia Welness SPA Professional Association (IWSPA) menilai pemerintah perlu merevisi aturan tersebut, demi kelangsungan pelaku usaha di bidang SPA.
Hal itu terungkap dalam press conference yang digelar oleh IWMA (Indonesia Wellness Master Association), WHEA (Wellness & Healthcare Entrepreneur Association), IWSPA (Indonesia Wellness Spa Professional Association di Etna Room, Kantor Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Kamis (18/1).
Press Conference ini menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Kadis Pariwisata Provinsi Bali, Tjokorda Bagus Pemayun, A.Par,MM, Direktur Lembaga Sertifikasi Pariwisata (LSP), Akhyaruddin Yusuf, SE,. M.Sc, Ketua Association of Hospitality Leaders Indonesia (AHLI), I Ketut Swabawa, CHA dan
John T.G. Nielsen, Director of Sustainability dari Bali Hotels Associations (BHA) yang juga General Manager Five Elements Retreat Bali.
Akhyaruddin Yusuf dalam paparannya menjelaskan bahwa Undang – undang HKPB tidak memperhatikan sejumlah hal. Pertama, memperlihatkan Adanya Tumpang Tindih Aturan. Achyar yang juga mewakili ke-3 asosiasi tersebut menilai, UU HKPD bertentangan dengan Undang-undang lainnya, dalam hal ini Undang- undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Kepariwisataan. Terutama dalam pengelompokan jenis usaha yang termasuk ke dalam objek Pajak Barang dan jasa Tertentu (PBJT). Sebab, dalam Pasal 50 dan Pasal 55 UU HKPD, pemerintah mengelompokkan jasa SPA ke dalam jasa kesenian dan hiburan. Padahal, di dalam Pasal 14 UU Pariwisata, usaha SPA tidak merupakan jenis usaha yang berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi.
Kedua, SPA Bukan Industri Hiburan. “Kami menilai, Jasa SPA lebih tepat dikelompokkan berbeda dari kegiatan usaha hiburan atau rekreasi sebagaimana yang diatur di dalam UU Pariwisata. Apalagi, secara definisi SPA memang bukan bagian dari aktivitas hiburan melainkan perawatan Kesehatan. Selain itu, SPA juga merupakan bagian dari wellness sebagai payung besarnya. Itu sebabnya, lebih tepat disebut sebagai SPA Wellness, yang tujuannya mencakup Kesehatan promotion dan prevention,” papar Akhyaruddin.
Hal ini diperkuat dengan tercakupnya SPA sebagai salah satu Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2023. Beleid ini mendefinisikan SPA sebagai terapi dengan karakteristik tertentu yang kualitasnya dapat diperoleh dengan cara pengolahan maupun alami.
Karena itu, Akhyaruddin mengimbau kepada pemerintah untuk segera meninjau kembali, ketentuan mengenai pengelompokan SPA sebagai bisnis hiburan. Jika dibiarkan, dikhawatirkan akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam kegiatan usaha di Indonesia.
Ketiga, Spa wellness merupakan Komoditas kesehatan bukan HIBURAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 700 suku bangsa dan masing-masing suku bangsa memiliki kekayaan yang berbeda-beda. Namun ada yang sama karena satu suku budaya serumpunnya di bidang kesehatan dan kebugaran.
Saat ini telah ditemukan 15 etnik pola pengobatan untuk kesehatan dan kebugaran dengan berbagai bukti empirisnya yang dilakukan oleh para Ahli yang tergabung dalam Assosiasi IWMA yang dikenal dengan ETNAPRANA.
Lahirnya Etnaprana ini karena ada pemikiran besar untuk bangsa ini. Spa wellness yang mengembangkan dan berkomitmen mengimplentasikan ETNAPRANA di dalamnya dibuktikan para terapisnya sudah bersertifikat sesuai dengan SKKNI Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 267 Tahun 2023 Tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Aktivitas Jasa Lainnya Golongan Pokok Aktivitas Jasa Perorangan Lainnya Sub Golongan Jasa Perorangan Aktivitas Kebugaran, Bukan Olahraga Bidang Sante Par Aqua (Spa) Terapi, industrinya sudah bersertifikat usaha sesuai dengan Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Standar Usaha Spa.
Usaha dengan skala ini hendaknya mendapat insentif pajak khusus untuk bisa berkembang membangun ekonomi bangsa dan menyarankan dalam preriode tertentu bisa di angka 0% dan setelah berkembang pesat baru dikenakan pajak sebagaimana mestinya karena untuk menerapkan standard spa
wellness yang telah ditentukan oleh pemerintah tidak mudah karena membutuhkan biaya
yang tidak sedikit, sehingga jika ditambah beban pajak yang tinggi, tentu akan berdampak
pada Kesehatan finansial pelaku usahanya.
Namun yang tak kalah pentingnya, kami berharap peran aktif dari pemerintah untuk membuka
ruang diskusi dengan pelaku usaha sehingga, kita memiliki persepsi yang sama dalam terkait
hal ini.
“Kami berharap pemerintah dan pihak – pihak terkait mendukung upaya bersama dalam mendorong industri Spa Wellness dalam negeri bersaing di tingkat dunia,”ungkap Akhyaruddin.
Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun mengatakan pemerintah kabupaten/kota juga dapat berperan memberikan insentif fiskal menyikapi keberatan pelaku usaha pariwisata mengenai kenaikan tarif pajak hiburan, termasuk pajak spa yang naik menjadi 40-75 persen.
“Dari hasil diskusi sebelumnya dengan teman-teman asosiasi pariwisata mereka menyatakan akan menyurati pemerintah kabupaten/kota se-Bali terkait hal tersebut. Mudah-mudahan teman-teman di kabupaten/kota dapat menyikapi,” ujarnya.
Insentif fiskal yang dimaksud dalam Pasal 101 UU HKPD dapat berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi dan/atau sanksinya.
Menurut Tjok Pemayun, jika tarif batas minimal pajak 40 persen sesuai UU HKPD diterapkan, maka akan berdampak pada 963 usaha spa yang terdaftar di Provinsi Bali. Padahal spa merupakan salah satu industri yang mendukung pariwisata Bali.
Wisatawan yang datang ke Bali, kata dia, tidak saja menikmati alam dan budaya Bali, tetapi juga menikmati spa.
Sementara Ketua Association of Hospitality Leaders Indonesia, Ketut Swabawa mengatakan dengan keberadaan spa dapat memperpanjang lama tinggal wisatawan di Bali bahkan banyak menyerap tenaga kerja lokal.
“Kami harap kenaikan ini ditunda, dan dilakukan judicial review. Ada kesalahan definisi jika spa dimasukkan dalam kategori rekreasi dan hiburan umum. Oleh karena itu perlu dilakukan revisi agar tidak seterusnya begitu,” ucapnya.
Perwakilan Bali Hotel Association John TG Nielsen juga mengatakan dengan adanya kenaikan pajak, pihaknya khawatir hal ini akan berdampak negatif terhadap perputaran ekonomi.
Bahkan, berpotensi terjadi pengurangan tenaga kerja akibat harga menjadi mahal karena kenaikan tarif pajak yang pada akhirnya berimbas kepada perekonomian masyarakat Bali.***
Penulis – Franco