JIMBARAN, GLOBALONE.ID – Sengketa lahan di Jimbaran terus begulir anatara PT Jimbaran Hijau dan sejumlah masyarakat Desa Adat Jimbaran.
Gerakan warga Desa Adat Jimbaran yang menamai diri Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran) kemudian melakukan gugatan perwakilan kelompok (class action). Gugatan ditujukan terhadap sejumlah perusahaan dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali termasuk PT Jimbaran Hijau.
PT. Jimbaran Hijau pun mulai merasa makin terusik atas ulah Kepet Jimbaran ini. Seperti dilansir Posbali.net pada Jumat, 14 Pebruari 2025, PT Jimbaran mulai ketakutan kehilangan lahan ratusan hektar yang kini mereka kuasai.
Kekhawatiran ini terlihat dari reaksi mereka menanggapi gerakan warga Desa Adat Jimbaran yang menamai diri Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat Jimbaran).
Sejumlah tuntutan yang dipercaya warga desa adat sebagai bukti formil dan materil dibuka pun mulai dibuka Kepet Adat Jimbaran.
Sidang perdana Class Action telah digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin (3/2/2025). Selain itu Kepet Adat Jimbaran juga telah menemui wakil rakyat di legislatif provinsi Bali (DPRD Bali) Senin (3/2/2025).
DPRD dan Pemerintah Bali diminta atensi dan buka mata dengan nasib ratusan kepala keluarga di Desa Adat Jimbaran.
Koordinator Kuasa Hukum Kepet Ada Jimbaran I Nyoman Wirama mengatakan beberapa kelompok masyarakat yang melakukan gugatan class action di PN Denpasar yakni kelompok penggarap yang memiliki surat resmi dari desa adat.
Diantaranya, kelompok yang memiliki ahli waris sebagai penggarap dengan bukti sah secara hukum adat, kelompok yang memiliki dokumen resmi sebagai pemilik lahan seperti surat-surat dan sertifikat hak milik, serta tanah milik desa adat dan subak yang merupakan satu kesatuan dari masyarakat hukum adat (MHA) di Jimbaran Bali.
“Semua lahan ini dikuasai PT Jimbaran Hijau dan PT Citra Tama Selaras (CTS) dengan HGB yang dibebaskan secara paksa dengan alasan untuk membangun berbagai sarana publik demi kepentingan KTT APEC beberapa tahun lalu. Namun pembebasan lahan itu sudah dilakukan sejak lama namun tidak ada pembangunan sama sekali dan tanah dibiarkan terlantar,”kata Nyoman Wirama.
Berikut sejumlah tuntutan oleh Kepet Adat Jimbaran yang membuat PT Jimbaran Hijau ketakutan hingga memberikan klarifikasi melalui kuasa hukum PT Jimbaran Hijau, Agus Samijaya yang telah dieskpos di sejumlah media massa beberapa waktu lalu.
Pertama, Pada tahun 1994, pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan alasan untuk kepentingan umum. Dimana pembebasan lahan tersebut dilakukan dengan cara-cara represif dan kekerasan serta menggunakan aparatur negara.
Kedua, Pembebasan lahan dengan kekerasan yang awalnya dikatakan untuk kepentingan umum ternyata ditumpangi kepentingan bisnis pribadi.
Ketiga, Dimana pada lahan para penggugat yang dibebaskan kemudian terbit sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Penerbitan SHGB tersebut patut diduga melibatkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali (Tergugat III); dengan menyetujui penerbitan SHGB berdasarkan pelepasan hak dari Desa Adat dan Kelurahan. Padahal, masyarakat desa sudah menguasai lahan tersebut dengan beritikad baik selama puluhan tahun dan turun-temurun.
Keempat, Seluruh SHGB tersebut dengan luas total 280 hektar kemudian diperpanjang dengan Surat Keputusan Presiden tentang Pembentukan Panitia Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC dan SK Menteri Pariwisata selaku Ketua Panitia APEC antara tahun 2010 hingga 2013.
Kelima, Sebelum diperpanjang dengan alasan KTT APEC tersebut, sebagian besar dari 280 hektar lahan tersebut sudah ditetapkan sebagai lahan terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional.
Keenam, Faktanya, setelah SHGB diperpanjang, sebagian besar lahan tersebut kenyataannya masih terlantar, tidak digunakan sama sekali, dan tidak digunakan sebagaimana peruntukannya sampai saat ini.
Ketujuh, Hingga saat ini sebagian besar lahan masih kosong, terlantar, dan tidak ada fasilitas yang digunakan sebagai sarana-prasarana KTT APEC 2013.
Kedelapan, Fakta lain salah satu perusahaan melakukan kerjasama pengelolaan dan penjualan perumahan dengan Perusahaan pengembang property. Fakta ini memperkuat dalil walau ada lahan yang dipergunakan, namun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya sebagai sarana-prasarana KTT APEC.
Kesembilan, Penguasaan fisik pada sebagian besar lahan tetap dilakukan oleh warga secara beritikad baik. Walau sering diusir dengan cara kekerasan, warga bersama orangtua dan keluarga terus mempertahankan penguasaan fisik atas sebagian bidang tanah tersebut. Sebab, dibebaskan dengan menggunakan cara kekerasan sejak 1997, kemudian diperpanjang secara melanggar hukum pada 2010 hingga 2013. ***igo